Ketika kecil dulu, setiap kali saya diminta melakukan sesuatu oleh ibu, saya selalu diingatkan "kita tidak boleh bilang gak, apalagi melawan pada orng tua. Bilang "ah" saja sudah dosa". Itu semacam peringatan yang mengerikan, saya diancam dosa durhaka pada orangtua jika tidak menjadi anak baik dan penurut.
Saya ingat, suatu hari saya menolak untuk mengambil bak yang diminta ibu saya. Saat itu ibu saya hendak memandikan adik pertama saya. Karenanya, saya dikejar ibu, hendak dipukuli. Saya berhasil kabur dan mengunci diri di rumah sepupu. Ibu menunggu di luar, meminta saya membuka pintu. Saya menolak, karena tau akan dipukuli. Tapi, ia berjanji tidak akan memukul saya. Tapi apa yg terjadii? Ketika saya qmembuka pintu, tetap saja saya dipukuli. Saya ingat, saya menangis tersedu-sedu. Berdiri didepan meja sambil mengamati tumpukan buku. Saya berdiri membelakangi ibu yang sedang mengoleskan minyak kayu putih untuk adik. Melihat saya menangis, iapun ikut menangis. Mungkin menyesali perbuatannya. Sedikit tidak sekarang saya memahami, mungkin saat itu ia begitu lelah. Lalu emosinya buncah, ditambah dengan kelakuan saya yang tidak penurut.
Tapi bukan berarti saya tidak punya memori baik bersama ibu. Memori baiknya teramat banyak, hadiah tiap kali juara kelas, diajak belanja baru lebaran ke pasar, dan masih banyak lagi. Begitu juga dengan pengorbanannya. Ada juga hal-hal sederhana yang kami lewati, dan itu teramat membahagiakan. Suatu sore, ibu mengajak saya berburu belalang di lapangan dekat rumah kami. Dengan alat sederhana yang terbuat dari sandal bekas, lalu dibuatkan gagang kayu. Kami bisa berburu belalang sepanjang sore, lalu pulang untuk mandi menjelang magrib. Saya ingat, saat itu saya menemukan sebuh cincin cantik bermata biru.
Ada pula kisah apa ya? sedih mungkin, saya yakin semua orang memiliki kisah serupa. Sisi struggling dalam hidup. Saat duduk di bangku Sekolah Dasar, pagi-pagi sekali ibu menyiapkan sarapan untuk saya dan bapak. Ibu memakaikan saya seragam sekolah. Saat itu, perekonomian keluarga belum sebaik sekarang. Ibu tak memiliki uang saat itu, lalu ia memberikan saya sebutir telur ayam. Katanya, telur ayam itu bisa ditukar di warung dekat sekolah. Saya bisa memilih, menukar telurnya dengan uang atau jajan. Saya tau betapa kedua orangtua saya begitu menyayangi saya. Mereka selalu mengusahakan terbaik untuk saya.
Meskipun begitu, hingga beranjak dewasa saya dan ibu sering beradu argumen. Pernah, saat ibu mengandung adik kedua saya, saya berdebat dengan ibu. Saya ingat, saat itu sedang duduk di bangku SMP. Karena hal sederhana, ibu tidak suka didebat kalau sedang mengingatkan saya. Saya yang saat itu masih senang adu argumen malah menjawab. Lalu ibu bilang "inikah yang diajarkan pondokmu? Melawan pada orangtua?". Lalu saya menulis sebuah surat, bahwa "Hak bicara dimiliki oleh semua orang, termasuk saya. Hak berbicara dijamin oleh negara. Lantas mengapa saya tidak bicara untuk membela diri? ". Kurang lebih seperti itulah isi surat yang saya tulis.
Bertahun-tahun setelah itu, barulah saya mengerti. Mungkin dalam benak ibu saya, menjawab "ah" saja adalah dosa, apalagi mendebat dengan argumen yang panjang. Ketika berusia 20an, saya lebih suka mengiyakan apa saja yang ibu katakan. Saya lebih suka berkompromi, dibandingkan terlibat dalam perdebatan panjang. Ketika masih SMA, ibu juga sering menjadikan saya moderator. Untuk menengahi ia dan ayah. Sejak saat itu relasi kami tidak lagi sejomplang ketika saya kecil. Kami sesekali menjadi teman diskusi. Ibu menerima saran-saran yang saya berikan. "Mungkin seperti inilah ibu dibesarkan", ucapku dalam hati.
Tapi, ada banyak anak-anak yang tak seberuntung saya. Beberapa pertanyaan muncul ketika saya dewasa, lalu menikah. Salah satunya adalah seperti apa kosep durhaka? Benarkan berkata "ah" pada orangtua sudah termasuk dosa? Bagaimana dengan orangtua? Tidak bisakah kita menyematkan konsep duraka pada orangtua yang tidak mampu bertanggungjawab atas anaknya?.
Saya mengenal beberapa teman yang tidak bisa dibesarkan orangtuanya, lalu ia diserahkan pada neneknya. Saya menemukan beberapa murid saya di PAUD juga mengalami hal serupa. Orangtuanya bercerai, lalu si anak diasuh neneknya. Atau kedua orangtuanya pergi menjadi butuh migran ke luar negeri, lalu si anak dititipkan pada saudara ibu/ayahnya. Mereka kehilangan sosok orangtua.
Saya ingat, salah satu murid ibu saya di PAUD yang tinggal bersama neneknya. Neneknya seorang tukang urut handal, ia juga petani dan buruh tani. Setiap hari ia harus memenuhi kebutuhan cucunya, uang jajan serta makanan pokok. Ada hal yang saya syukuri, nenek ini tinggal di desa. Ia bisa mendapatkan lauk-pauk dari sawah sekitar. Tetangganya yang juga kerabatnya tentu takkan membiarkan ia dan cucunya kelaparan. Di PAUD, ibu saya hanya menarik iuran bulanan sebanyak 5.000 rupiah. Awalnya senua gratis, wali murid hanya perlu membayar seragam sekolah, karena yayasan tak memiliki dana untuk ini. Kata ibu, penarikan iuran ini terpaksan karena harus memikirkan guru-guru yang mengajar di sana, karena insentif sekali enam bulan tentu takkan pernah cukup bagi guru di sana. Biaya pendidikan dan hidup di desa tak begitu mencekik seperti di kota. Meskipun begitu, perputaran uang di desa juga tak begitu besar.
Masalah ini cukup pelik, selain kehilangan perhatian dari sosok orangtua, mereka juga harus hidup dalam kondisi ekonomi yg cukup memprihatinkan. Bagaimana bisa sosok nenek yang sudah renta mampu memenuhi segala kebutuhan si anak? karena tak semua anak yang saya kenal tadi dibiayai hidupnya oleh orangtuanya. Orangtua mereka lepas tangan. Di lingkungan saya, inilah yang mejadi awal dari maraknya pernikahan dini. Anak-anak yang diserahkan ke pada neneknya, lalu si nenek tidak dapat membiayai sekolah si anak dan ia putus sekolah di usia belasan tahun. Lalu, si anak menikah dengan harapan dapat memutus kemalangannya. Kemudian ini menjadi masalah baru, karena pernikahan dini erat kaitannya dengan angka perceraian, juga kemiskinan.
Tapi, ada juga anak-anak yang berhasil survive meski tak dibiayai ayah-ibunya, serta tak mendapatkan kasih sayang dari keduanya. Anak yang saya kenal, ia berhasil menamatkan pendidikan sampai strata satu. Ia mengakui, tetap ada luka dan lubang besar dalam dirinya yang belum jua sembuh.
Di belahan dunia lain, ada anak-anak yang dilahirkan di bawah garis kemiskinan. Orangtua bisa memiliki empat sampai belasan anak. Lalu, saat usia yang sangat belia, anak-anak perempuan dinikahkan agar segera mengurangi beban ekonomi keluarga. Eh bukan belia, anak-anak tepatnya. Child marriage istilahnya. Child marriage karena kemiskinan telah menjadi rahasia umum. Di Etiopia misalnya, orangtua mengakui bahwa mereka menikahkan anak-anak mereka karena alasan ekonomi. Dan ini terjadi di banyak negara.
Bisakah anak-anak ini menuntut kedua orangtuanya? Menuntut mereka ke jalur hukum karena tak becus merawat mereka. Menuntut mereka yang berani-beraninya melahirkan tanpa benar benar memiliki kesiapan. Jika tak mampu membesarkan, lantas kenapa memutuskan untuk melahirkan. Toh, anak-anak ini tidak pernah meminta untuk ada dan dilepas di rimba yang bernama dunia. Bolehkan konsep durhaka juga disematkan pada orang-orang seperti mereka? Yang melepaskan tanggungjawab untuk memberikan kasih sayang, juga nafkah yang layak?
Narasi Menghormati Orangtua
Setiap hari, ceramah-ceramah yang saya dengar berisi bagaimana cara memperlakukan orantua. Memohon ridha mereka agar jalan hidup si anak dipermudah. Memperlakukan mereka dengan sehormat-hormatnya. Jika tidak, bisa si anak bisa diancam kualat di dunia dan akhirat. Setoxic apapun mereka, harus tetap dihormati. Katanya, lelahnya melahirkan tak dapat digantikan dengan apapun di dunia ini. Lantas, bagaimana bisa si anak memperlakukan dengan baik, jika ia tidak didik dengan perlakuan baik juga diberikan kasih sayang yang setulus-tulusnya?.
Selain ajaran agama, budaya yang penuh dengan hirarki juga membuat konsep anak durhaka ini mejadi kental. Kita tentu ingat kisah Malin si anak durhaka. Tapi, saya belum menemukan legenda, yang mengisahkan kutukan anak pada orangtua yang tak bertanggungjawab.
Narasi Hak-Hak Anak
Saya befikir, kenapa
penceramah kondang lebih sering membahas tentang kewajiban anak
terhadap orangtuanya, seperti menghormati, menyayangi dan lain
sebagainya. Dibandingkan mengingatkan tentang hak-hak anak atas
orangtuanya.
Saya menyukai satu surah
dalam kitab suci saya yang berbicara tentang sebuah keluarga. Surah
ini bercerita tentang keluarga Imran, ayahnya Maryam; kakeknya Isa.
Saya menyukai bagaimana Maryam bin Imran dibesarkan. Meskipun ayahnya
meninggal ketika ia belum lahir, dan ia mendaptkan pendidikan dari
pamannya Zakaria. Meski tanpa sosok ayah, maryam bisa dibesakan
dengan sangat baik. Sehari-hari Maryam hanya berdiam di biliknya
untuk belajar dan beribadah, segala kebutuhannya dipenuhi sang paman,
makananya disediakan. Tumbuhlah ia menjadi wanita yang shalihah
karena diberika pendidikan dan fasilitas terbaik. Mungkin hidupnya
penuh keistimewaan karena bapaknya, Imran, adalah orang yang
dihormati di kalangannya. Dalam kitab suci saya, kisah Imran dan
Keluarganya diberikan surah tersendiri. Imran dan keluarganya diistimewakan. Ibunya pun begitu shalih, sejak Maryam dalam kandungan ia telah menazarkan agar anaknya menjadi putri yang salih, juga mengusahakannya. Tidakkah kita harus belajar
lebih banyak dari kisah keluarga ini? Hak-hak anak dipenuhi dengan begitu baik, diberikan kasih sayang, fasilitas, serta pendidikan yang baik, agar ia tumbuh menjadi jiwa-jiwa yang baik pula.