Sabtu, 16 Oktober 2021

Tenun Lombok Motif Lumbung

Kain Tenun Tangan Motif Lumbung Wayang Asli Lombok | Shopee Indonesia


Kain tenun umun dijumpai di Indonesia. Tenun sendiri merupakan teknik pembuatan kain dengan menggabungkan benang secara memanjang dan melintang. Benang yang bersilangan secara bergantian membentuk motif yang beragam dengan warna yang menarik. Ada warna yang kalm ada juga warna yang mencolok seperti warna keemasan. 

Di Pulau Lombok, terdapat beragam jenis kain tenun. Setiap daerah memiliki motif khas sendiri yang dipengaruhi oleh ragam budaya dan kreativitas penenunya. Salah satu motif kain yang sudah dikenal sampai manca negara adalah motif lumbung. Motif ini sempat dibawa untuk fashion show oleh Barli Asmara, dan Zaskia Sungkar, akan menampilkan karyanya di ajang Couture Fashion Week 2015 di New York.

Tenun dengan motif lumbung ini menggambarkan bale lumbung, yang merupakan rumah adat suku sasak. Lumbung umum digunakan oleh masyarakat suku sasak untuk menyimpan padi. Motif kain tenun memang earat kaitannya dengan kebudayaan masyarakat sekitar.

ukuran tenun 200x100

Selasa, 01 September 2020

Refleksi di bulan September

Menjadi Objektif

Dulu sekali, saya sempat berkata pada seseorang "jangan terlalu taklid pada sesuatu atau seseorang, nanti kau kehilangan objektivitas untuk menilai hal itu". Bagi saya, bebas mempertanyakan semua hal adalah sebuah kemerdekaan. Dan terkadang, menjadi bagian dari sesuatu membuat saya tunduk dan tak lagi mampu mengajukan pertanyaan sebebas-bebasnya. Ada kesulitan tersendiri untuk melakukan auto-kritik.
Itulah mengapa saya cenderung memilih untuk tidak berafiliasi dengan bendera ormas, atau menjadi bagian dari isme-isme yang ada (kecuali keyakinan yang saya anut). Cukuplah identitas agama, suku, dan negara ini yang mengekang saya, selebihnya biarkan saya definisikan diri sebagai Dasein.

Belakangan, ada hal membuat saya tersadar. Saya tidak sepenuhnya mampu menjadi orang merdeka seperti yang saya katakan sebelumnya. Ketika saya menjadi bagian sebuah lingkaran kecil, saya akan memiliki kecendrungan untuk melindungi lingkaran itu. Sadar atau tidak, hal itu membuat saya defensif. Saya lupa pada objektivitas dan kemerdekaan yang saya agungkan. Ketika ada suara minor yang berbeda dengan mayoritas di dalam lingkaran kecil ini, tanpa sadar saya menjadi represif dan menutup kesempatan bagi orang lain untuk bertanya. Beruntung, saya cepat disadarkan oleh seorang kawan.

Jika merefleksikan ini pada tataran yang lebih luas, teramat sering kita melihat orang yang dulunya lantang bersuara menentang keputusan penguasa yang tidak pro rakyat, namun menjadi kucing saat masuk dalam lingkarang penguasa. Ia tak lagi mampu mendengarkan suara yang berbeda dengan lingkaran penguasa. Bahkan, ia menjadi menjadi represif terhadap suara-suara orang kecil yang dulu biasa ia suarakan. Ia tak mampu melihat lingkarannya dengan cara yang objektif. Bisa sebutkan sendiri nama tokoh-tokohnya.

Respon cepat tak selalu tepat

Di sisi lain, saya menyadari bahwa ada kesulitan tersendiri ketika saya menentukan tempat untuk berpijak. Relativitas membawa saya pada titik di mana saya menganggap semua perasaan dan pendapat orang lain valid. Sehingga sering kali saya kesulitan menemukan suara saya sendiri. Jika dipaksa untuk merespon dengan cepat (pada hal yang tidak saya perdalam sebelumnya) saya cenderung akan terbawa arus dengan pendapat-pendatat dominan. Itulah yang terjadi ketika saya merepresi pendapat seorang kawan. Hanya jika saya memberi jeda dan jarak untuk menelaah dan memproses semua pendapat tadi untuk mengambil keputusan, barulah saya mampu melihat dengan jernih dan menemukan pijakan sendiri.

Namun di era 4.0 ini, segala sesuatunya berjalan denga cepat. Saya dan mungkin kita, tak lagi diberi jeda untuk merespon sesuatu. Semua informasi didapatkan dalam keadaan fresh and hot, dan hal ini dapat kita respon dalam hitungan detik. Ini bisa menjadi bola-bola api jika kita tak memiliki cukup waktu untuk menilik lebih dalam. Pada kasus yang saya alami, respon cepat dan berapi-api saya tak beakhir tepat.

Dalam konteks yang lebih luas, kita acap kali disuguhkan dengan fenomena media daring yang blunder karena mengejar kecepatan. Ketika kecepatan menjadi paradigma utama dalam produksi sebuah berita, potensi pelanggaran kode etik jurnalistik menjadi lebih terbuka. Demi mengejar kecepatan, sebuah media daring kerap menyajikan data yang salah, terkadang bahkan fatal, dan tentu menyesatkan bagi publik. 

Minggu, 12 April 2020

Gugatan Terhadap Konsep Durhaka (Part 2)


Beberapa waktu lalau, saya berdiskusi dengan seorang kawan, ini perihal tulisan saya yang mempertanyakan konsep durhaka. Kenapa konsep ini lebih sering disematkan pada anak, tidak bisakah orangtua juga disematkan konsep durhaka?. Bukankah akhir-akhir ini kita juga menemukan orantua toxic, melakukan kekerasan baik fisik maupun seksual. Kita juga tau, ada banyak orangtua yang tak mampu bertanggungjawab untuk memenuhi hak-hak anak.

Beberapa hari setelah diskusi itu, saya menemukan sebuh artikel yang mengulas tentang sebuah film yang berjudul “Capernaum”. Film ini tentang seorang anak bernama Zain El Hajj, yang menggugat orantuanya. Alasannya, si anak tak terima dilahirkan ke dunia. Zain dilahirkan dari keluarga miskin. Sejak kecil ia tinggal di sebuah rumah susun sempit bersama orangtuanya dan delapan saudaranya. Kesulitan ekonomi yang membuatnya harus meninggalkan bangku sekolah dan harus bekerja di usia muda. Konflik di film ini menjak ketika adik perempuannya hendak dinikahkan di usai belia untuk mengurangi beban ekonomi keluarga. Zain menentang pernikahan ini.
https://www.flicks.com.au/movie/capernaum/poster/
Saya hendak menonton film itu, tapi belum menemukan situs untuk mengunduhnya. Tapi ada beberapa hal yang saya fikirkan setelah membaca review film tersebut. Kenapa birth control di negara ini hanya sebatas himbauan, bukan kewajiban?. Bukankah jika anak tak mampu dibesarkan oleh orangtuanya, selanjutnya ia berada dibawah tanggungjawab negara? sebelum negara memberi hak asuh pada keluarga terdekat. Dengan demikian, beban negara akan bertambah berat, jika anak-anak dari kalangan seperti itu berambah banyak jumlahnya.

Bisakah kemudian negara memberi syarat bagi calon orangtua yang ingin memiliki anak?. Misalnya, calon orangtua hendaknya memiliki deposito dalam jumlah tertentu. Jumlah deposito ini disesuaikan dengan biaya hidup, kesehatan, juga pendidikan si anak kedepannya. Dalam film tersebut, ditampilkan pula bahwa satu keluarga tersebut tinggal kontrakan kecil yang sesak di rumah susun. In berarti tempat tingal mereka jauh dari kata layak. Sehingga, dapat juga diajukan syarat tambahan, tak hanya syarat deposito yang harus dimiliki si calon orangtua, tapi mereka juga harus memiliki tempat tinggal yang layak. Jika si calon orangtua tidak mampum menujukkan kepemilikan deposito serta tempat tinggal yang layak, maka mereka belum bisa mendapatkan izin memiliki keturunan. Saya tidak tau, hak siapa yang akan dilanggar karena ini, tapi tidakkah ini penting untuk mejaga hak calon anak agar terpenuhi kedepannya?.

Mungkin anda pernah membaca sebuah penelitian tentang pendapatan anak-anak dari kalangan miskin lebih rendah 87% dari mereka yang berasal dari kalangan tidak miskin. Penelitian ini dipublikasikan di makalah internasional Asian Development Bank. Kemiskinan yang terjadi terjadi pada anak-anak berkaitan erat dengan kemiskinan keluarganya, ini menujukkan bahwa keluar dari kemiskinan tidak semudah yang orang fikirkan. Perlu dijabarkan lebih lanjut mengapa anak-anak ini memiliki penghasilan lebih kecil, apakah karena tingkat pendidikan yang rendah atau faktor lainnya. Jika karena tingkat pendidikan, bukankah aturan kepemiliki deposito calon orangtua yang saya ajukan di atas bisa menjadi solusi? Setidaknya dengan begitu anak-anak dapat memulai “start” dari garis yang sama; akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan lainnya.

Saya mencari adakah negara yang menerapkan aturan demikian. Yang mengharuskan calon orangtua memenuhi kriteria berupa deposito dalam jumlah yang ditentukan, serta tempat tinggal yang layak. Sehingga hak-hak anak dapat terpenuhi dengan baik. Mereka bisa bermain dengan riang, belajar dengan nyaman, tanpa ikut memilkul beban orangtua di usia kanak-kanak. 

Selain untuk mengurangi gap, saya fikir sistem deposito ini memberi ruang untuk calon orangtua, untuk benar-benar memikirkan keputusannya memiliki anak, benar-benar mengusahakannya. Ketika memiliki anak dianggap sebagai sebuah keistimewaan, karena diperoleh dari rentetan usaha yang begitu keras, maka ia akan dijaga dengan sebaik-baiknya. Bukankah kita cenderung menghargai sesuatu yang kita miliki dengan usaha yang keras, dibandingkan sesuatu yang kita miliki dengan cuma-cuma?. Tengoklah yang terjadi pada keluarga Zain di atas, orangtuanya beranak pinak semaunya, bukan “semampunya”.

Seharusnya nilai-nilai yang lebih dulu kita kenal dengan keagungannya bisa mengatasi ini, nyatanya nilai-nilai itu tidak sepenuhnya mampu mengikat. Tak semua orang tunduk karena takut dosa, dan tak semua orang pula tunduk karena menginginkan pahala. Reward and punishment di bumi nyatanya diperlukan untuk memperkuat nilai-nilai yang diyaakini tadi.

Mungkin setelah ini saya akan dihujat karena membiarkan orang miskin mati kesepian kalaulah mereka tak mampu mengumpulkan deposito. Saya juga akan dihujat karena berfikir bahwa individulah yang mampu mengatasi permasalahan runyam ini, alih-alih solusi kolektif seperti pendidikan gratis untuk semua kalangan, kesehatan gratis untuk mengurangi gap yang saya bicarakn tadi. Mungkin juga saya dianggap tak peduli dengan buruh yang kerja berjam-jam namun tetap miskin karena sistem kapitalis yang menghisap orang-orang kecil ini. Yang paling parah, mungkin saya akan dicap tidak percaya kekuatan tuhan, karena kita tau semua anak diyakini membawa rizkinya masing-masing.

Namun, ini semua karena saya berfikir tentang kewajiban orantua atas anak sebelum menuntut hak-hak untuk di hormati dan disayangi. Agar anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang mirip dengan lingkungan Maryam putri Imran, bukan lagi seperti Zain dan saudara-saudranya. Bukankah kita akan menuai apa yang kita semai?







Jumat, 03 April 2020

Gugatan Terhadap Konsep Durhaka (Part 1)

Ketika kecil dulu, setiap kali saya diminta melakukan sesuatu oleh ibu, saya selalu diingatkan "kita tidak boleh bilang gak, apalagi melawan pada orng tua. Bilang "ah" saja sudah dosa". Itu semacam peringatan yang mengerikan, saya diancam dosa durhaka pada orangtua jika tidak menjadi anak baik dan penurut. 

Saya ingat, suatu hari saya menolak untuk mengambil bak yang diminta ibu saya. Saat itu ibu saya hendak memandikan adik pertama saya. Karenanya, saya dikejar ibu, hendak dipukuli. Saya berhasil kabur dan mengunci diri di rumah sepupu. Ibu menunggu di luar, meminta saya membuka pintu. Saya menolak, karena tau akan dipukuli. Tapi, ia berjanji tidak akan memukul saya. Tapi apa yg terjadii? Ketika saya qmembuka pintu, tetap saja saya dipukuli. Saya ingat, saya menangis tersedu-sedu. Berdiri didepan meja sambil mengamati tumpukan buku. Saya berdiri membelakangi ibu yang sedang mengoleskan minyak kayu putih untuk adik. Melihat saya menangis, iapun ikut menangis. Mungkin menyesali perbuatannya. Sedikit tidak sekarang saya memahami, mungkin saat itu ia begitu lelah. Lalu emosinya buncah, ditambah dengan kelakuan saya yang tidak penurut.

Tapi bukan berarti saya tidak punya memori baik bersama ibu. Memori baiknya teramat banyak, hadiah tiap kali juara kelas, diajak belanja baru lebaran ke pasar, dan masih banyak lagi. Begitu juga dengan pengorbanannya. Ada juga hal-hal sederhana yang kami lewati, dan itu teramat membahagiakan. Suatu sore, ibu mengajak saya berburu belalang di lapangan dekat rumah kami. Dengan alat sederhana yang terbuat dari sandal bekas, lalu dibuatkan gagang kayu. Kami bisa berburu belalang sepanjang sore, lalu pulang untuk mandi menjelang magrib. Saya ingat, saat itu saya menemukan sebuh cincin cantik bermata biru. 

Ada pula kisah apa ya? sedih mungkin, saya yakin semua orang memiliki kisah serupa. Sisi struggling dalam hidup. Saat duduk di bangku Sekolah Dasar, pagi-pagi sekali ibu menyiapkan sarapan untuk saya dan bapak. Ibu memakaikan saya seragam sekolah. Saat itu, perekonomian keluarga belum sebaik sekarang. Ibu tak memiliki uang saat itu, lalu ia memberikan saya sebutir telur ayam. Katanya, telur ayam itu bisa ditukar di warung dekat sekolah. Saya bisa memilih, menukar telurnya dengan uang atau jajan. Saya tau betapa kedua orangtua saya begitu menyayangi saya. Mereka selalu mengusahakan terbaik untuk saya.

Meskipun begitu, hingga beranjak dewasa saya dan ibu sering beradu argumen.  Pernah, saat ibu mengandung adik kedua saya, saya berdebat dengan ibu. Saya ingat, saat itu sedang duduk di bangku SMP. Karena hal sederhana, ibu tidak suka didebat kalau sedang mengingatkan saya. Saya yang saat itu masih senang adu argumen malah menjawab. Lalu ibu bilang "inikah yang diajarkan pondokmu? Melawan pada orangtua?". Lalu saya menulis sebuah surat, bahwa "Hak bicara dimiliki oleh semua orang, termasuk saya. Hak berbicara dijamin oleh negara. Lantas mengapa saya tidak bicara untuk membela diri? ". Kurang lebih seperti itulah isi surat yang saya tulis. 

Bertahun-tahun setelah itu, barulah saya mengerti. Mungkin dalam benak ibu saya, menjawab "ah" saja adalah dosa, apalagi mendebat dengan argumen yang panjang. Ketika berusia 20an, saya lebih suka mengiyakan apa saja yang ibu katakan. Saya lebih suka berkompromi, dibandingkan terlibat dalam perdebatan panjang. Ketika masih SMA, ibu juga sering menjadikan saya moderator. Untuk menengahi ia dan ayah. Sejak saat itu relasi kami tidak lagi sejomplang ketika saya kecil. Kami sesekali menjadi teman diskusi. Ibu menerima saran-saran yang saya berikan. "Mungkin seperti inilah ibu dibesarkan", ucapku dalam hati.

Tapi, ada banyak anak-anak yang tak seberuntung saya. Beberapa pertanyaan muncul ketika saya dewasa, lalu menikah. Salah satunya adalah seperti apa kosep durhaka? Benarkan berkata "ah" pada orangtua sudah termasuk dosa? Bagaimana dengan orangtua? Tidak bisakah kita menyematkan konsep duraka pada orangtua yang tidak mampu bertanggungjawab atas anaknya?. 

Saya mengenal beberapa teman yang tidak bisa dibesarkan orangtuanya, lalu ia diserahkan pada neneknya. Saya menemukan beberapa murid saya di PAUD juga mengalami hal serupa. Orangtuanya bercerai, lalu si anak diasuh neneknya. Atau kedua orangtuanya pergi menjadi butuh migran ke luar negeri, lalu si anak dititipkan pada saudara ibu/ayahnya. Mereka kehilangan sosok orangtua.  

Saya ingat, salah satu murid ibu saya di PAUD yang tinggal bersama neneknya. Neneknya seorang tukang urut handal, ia juga petani dan buruh tani. Setiap hari ia harus memenuhi kebutuhan cucunya, uang jajan serta makanan pokok. Ada hal yang saya syukuri, nenek ini tinggal di desa. Ia bisa mendapatkan lauk-pauk dari sawah sekitar. Tetangganya yang juga kerabatnya tentu takkan membiarkan ia dan cucunya kelaparan. Di PAUD, ibu saya hanya menarik iuran bulanan sebanyak 5.000 rupiah. Awalnya senua gratis, wali murid hanya perlu membayar seragam sekolah, karena yayasan tak memiliki dana untuk ini. Kata ibu, penarikan iuran ini terpaksan karena harus memikirkan guru-guru yang mengajar di sana, karena insentif sekali enam bulan tentu takkan pernah cukup bagi guru di sana. Biaya pendidikan dan hidup di desa tak begitu mencekik seperti di kota. Meskipun begitu, perputaran uang di desa juga tak begitu besar.

Masalah ini cukup pelik, selain kehilangan perhatian dari sosok orangtua, mereka juga harus hidup dalam kondisi ekonomi yg cukup memprihatinkan. Bagaimana bisa sosok nenek yang sudah renta mampu memenuhi segala kebutuhan si anak? karena tak semua anak yang saya kenal tadi dibiayai hidupnya oleh orangtuanya. Orangtua mereka lepas tangan. Di lingkungan saya, inilah yang mejadi awal dari maraknya pernikahan dini. Anak-anak yang diserahkan ke pada neneknya, lalu si nenek tidak dapat membiayai sekolah si anak dan ia putus sekolah di usia belasan tahun. Lalu, si anak menikah dengan harapan dapat memutus kemalangannya. Kemudian ini menjadi masalah baru,  karena pernikahan dini erat kaitannya dengan angka perceraian, juga kemiskinan. 

Tapi, ada juga anak-anak yang berhasil survive meski tak dibiayai ayah-ibunya, serta tak mendapatkan kasih sayang dari keduanya. Anak yang saya kenal, ia berhasil menamatkan pendidikan sampai strata satu. Ia mengakui, tetap ada luka dan lubang besar dalam dirinya yang belum jua sembuh. 

Di belahan dunia lain, ada anak-anak yang dilahirkan di bawah garis kemiskinan. Orangtua bisa memiliki empat sampai belasan anak. Lalu, saat usia yang sangat belia, anak-anak perempuan dinikahkan agar segera mengurangi beban ekonomi keluarga. Eh bukan belia, anak-anak tepatnya. Child marriage istilahnya. Child marriage karena kemiskinan telah menjadi rahasia umum. Di Etiopia misalnya, orangtua mengakui bahwa mereka menikahkan anak-anak mereka karena alasan ekonomi. Dan ini terjadi di banyak negara.

Bisakah anak-anak ini menuntut kedua orangtuanya? Menuntut mereka ke jalur hukum karena tak becus merawat mereka. Menuntut mereka yang berani-beraninya melahirkan tanpa benar benar memiliki kesiapan. Jika tak mampu membesarkan, lantas kenapa memutuskan untuk melahirkan. Toh, anak-anak ini tidak pernah meminta untuk ada dan dilepas di rimba yang bernama dunia. Bolehkan konsep durhaka juga disematkan pada orang-orang seperti mereka? Yang melepaskan tanggungjawab untuk memberikan kasih sayang, juga nafkah yang layak?

Narasi Menghormati Orangtua

Setiap hari, ceramah-ceramah yang saya dengar berisi bagaimana cara memperlakukan orantua. Memohon ridha mereka agar jalan hidup si anak dipermudah. Memperlakukan mereka dengan sehormat-hormatnya. Jika tidak, bisa si anak bisa diancam kualat di dunia dan akhirat. Setoxic apapun mereka, harus tetap dihormati. Katanya, lelahnya melahirkan tak dapat digantikan dengan apapun di dunia ini. Lantas, bagaimana bisa si anak memperlakukan dengan baik, jika ia tidak didik dengan perlakuan baik juga diberikan kasih sayang yang setulus-tulusnya?.

Selain ajaran agama, budaya yang penuh dengan hirarki juga membuat konsep anak durhaka ini mejadi kental. Kita tentu ingat kisah Malin si anak durhaka.  Tapi, saya belum menemukan legenda, yang mengisahkan kutukan anak pada orangtua yang tak bertanggungjawab.

Narasi Hak-Hak Anak


Saya befikir, kenapa penceramah kondang lebih sering membahas tentang kewajiban anak terhadap orangtuanya, seperti menghormati, menyayangi dan lain sebagainya. Dibandingkan mengingatkan tentang hak-hak anak atas orangtuanya.

Saya menyukai satu surah dalam kitab suci saya yang berbicara tentang sebuah keluarga. Surah ini bercerita tentang keluarga Imran, ayahnya Maryam; kakeknya Isa. Saya menyukai bagaimana Maryam bin Imran dibesarkan. Meskipun ayahnya meninggal ketika ia belum lahir, dan ia mendaptkan pendidikan dari pamannya Zakaria. Meski tanpa sosok ayah, maryam bisa dibesakan dengan sangat baik. Sehari-hari Maryam hanya berdiam di biliknya untuk belajar dan beribadah, segala kebutuhannya dipenuhi sang paman, makananya disediakan. Tumbuhlah ia menjadi wanita yang shalihah karena diberika pendidikan dan fasilitas terbaik. Mungkin hidupnya penuh keistimewaan karena bapaknya, Imran, adalah orang yang dihormati di kalangannya. Dalam kitab suci saya, kisah Imran dan Keluarganya diberikan surah tersendiri. Imran dan keluarganya diistimewakan. Ibunya pun begitu shalih, sejak Maryam dalam kandungan ia telah menazarkan agar anaknya menjadi putri yang salih, juga mengusahakannya. Tidakkah kita harus belajar lebih banyak dari kisah keluarga ini? Hak-hak anak dipenuhi dengan begitu baik, diberikan kasih sayang, fasilitas, serta pendidikan yang baik, agar ia tumbuh menjadi jiwa-jiwa yang baik pula.


Jumat, 20 Maret 2020

Bolehkah saya berterima kasih pada corona?

                 Pic. Source: Frantiśek Czanner

Apa salah kalau saya berfikir Covid-19 ini baik? Baik bagi bumi yang kelebihan beban. Baik bagi kita untuk rebahan, eh bukan. Baik bagi manusia untuk mengambil jeda, lalu merenungi kembali semua perbuatannya. Mempertanyakah kembali apakah kita ini khalifah, atau hanya mahluk pembawa masalah?

Terlepas dari semua teori konspirasi yang menganggap peristiwa ini sebagai perang dengan senjata "biologi". Juga asumsi bahwa ini merupakan cara untuk mengontrol jumlah populasi di muka bumi. Namun saya percaya, ada hikmah dibalik wabah. 

Wajah asli negara dan warga

Hikmahnya? Kita bisa melihat wajah asli negara kita. Betapa ambisi pembangunan kita lebih besar pasak dari tiangnya. Negara bergantung pada import murah, ketika muncul wabah, ekonomi langsung goyah. Kita juga sadar bahwa bergantung pada hutang, bukan cara yang baik untuk bertahan.

Pemangku kebijakan memang tidak pernah benar-benar siap-siaga. Mereka lebih suka denial dan jumawa, ketimbang bersiap-siap untuk segala kemungkinan yang ada. Padahal ada jeda yang cukup lama, ketika Corona muncul pertama kalinya di Cina, kemudian masuk ke Indonesia. Saya tak habis fikir, kenapa kita tak perna benar-benar belajar dari sejarah. Beberapa tahun silam kita telah mampu mengatasi penyakit yang juga mewabah.

Mungkin elit politik kita tak pernah benar-benar empati, dalam bencana sekalipun, ada saja diskursus yang dibangun untuk menarik simpati. Ah iya, pemilihan sebentar lagi. Lalu sosial media kita dipenuhi caci-maki. Kita bisa menilai, negara ini tak punya banyak figur pemimpin dengan nalar yang memadai. 

Pun kita tau, rakyat macam apa yang menghasilkan elit politik seperti itu. 

Klaim kita sebagai bangsa dengan budaya gotong-royong, nyatanya itu hanya tinggal semboyan. Lihat saja bagaimana orang-orang ber-uang melakukan panic buying, sedangkan saudara kita yang lain pontang-panting. 

Tamparan dari alam

Ya, alam sedang menampar manusia.
Krisis ini menujukkan banyak hal pada kita. Dibandikan kekuatan alam, manusia tidak ada apa-apanya.

Corona mengajarkan bahwa kita mampu bertahan dengan hidup sederhana, apa adanya. Tanpa produksi berlebih dan mengambil secukupnya saja. Bahwa bumi harus ditanami tumbuhan, bukan bangunan untuk bermegah-megahan. Lagipula, apa yang manusia hadapi karena Corona hari ini, tak sepadan dengan apa yang telah bumi alami. Hewa-hewan kita buru dan tembaki. Manusia mengeksploitasi alam tiada habisnya. Sebut saja polusi udara, libah dan plastik yang tak terhitung jumlahnya, hutan ditebang di mana-mana, serta segala aktivitas yang merusaknya untuk memuaskan hasrat manusia.

Karena Corona, manusia harus mengisolasi diri. Lalu alam memiliki kesempatan untuk melakukan self recovery. Tentu saja ini terjadi hanya ketika ibu pertiwi lengang dari aktivitas kita. Ada lumba-lumba yang mulai bermunculan di salah satu kanal yang paling sibuk di Italia. Di Wuhan-Cina, langit yang tadinya berwarna pekat karena polusi, kini mulai berseri kembali. Kicauan burung yang biasanya kalah oleh kendaraan dan pabrik yang menderu, kini kembali berbunyi dengan merdu dan syahdu. 

Bumi kita mampu bernafas dengan lega, karena pesawat tak lagi wara-wiri seperti biasanya. Alam membaik tanpa aktivitas kita. Di Cina, Italia, dan banyak tempat lainnya.

Solidaritas yang utama

Seketika roda perekonomian melambat, investasi pun ikut terhambat. Mata kita dibuka, bahwa sistem kapitalisme bukan yang utama. Dalam situasi krisis, solidaritaslah yang membuat kita kuat. Sekat-sekat antar kelas, suku, ras, dan agama harusnya sudah amblas.

Tengok bagaimana negara di luar sana saling bahu-membahu, Iran meminta bantuan tim medis dari Cina, begitu juga Italia. Tak hanya metode tapi juga alat yang mereka bagi, guna menanggulangi virus ini. 

Saudara sebangsa kita juga harusnya bisa saling menjaga, bukan hanyak teriak saling mencerca. Yang berada seyogyanya mengulurkan tangan untuk mereka yang tak berpunya. Memperkuat tali persaudaraan untuk memulihkan keadaan. Bukan malah mengambil keuntungan dalam kesempitan.

Terima kasih Corona

Momen seperti ini mengajarkan kita bahwa apa yang kita anggap mapan, bisa kembali kita pertanyakan. Memikirkan kembali tujuan penciptaan, juga keberADAan. Mungkin ego kita akhir-akhir ini berlebihan dan keterlaluan. Hal itu mengakibatkan banyaknya penderitaan. Penderitaan bagi sesama manusia, flora, juga fauna.

Tanpa mengurangi rasa empati saya pada jiwa-jiwa luar biasa, yang sudah lebih dulu berpindah ke alam abadi di seberang sana.  Mereka yang telah terbebas dari derita di dunia. Juga tanpa mengurangi ta'zim saya pada tim medis dan peneliti yang berjuang untuk menyelamatkan nyawa-nyawa. 

Tak lupa, teriring doa untuk keluarga yang ditinggalkan, semoga diberikan ketabahan. Serta semua negara yang perekonomiannya merosot ke level yang belum pernah dibayangkan, semoga lekas dipulihkan.

Tetap saja saya ingin bertanya "bolehkah saya berterima kasih pada Corona?"

Mataram, 18 Maret 2020.
10.44 Wita

Rabu, 11 Maret 2020

"Selamat Pagi" dari Mareje

Alarm berdering berkali-kali. Inginku menarik selimut dan tidur lagi. Kalau saja hari ini saya tidak ada janji. Yapss, pagi ini saya dan suami berjanji dengan kawan-kawan mengujungi sebuah bukit di desa Mareje. Katanya sih tempatnya lumayan kece.

Pemandangan yang ditawarkan Mareje adalah area sawah dengan konsep terasering. Tak butuh waktu lama, usai subuhan kami langsung tancap gas. Deru suara X-ride memecah keheningan di jalan komplek perumahan. Masih terlihat embun yang hinggap di dedaunan saat kami lewat.

Jarak Mareje dari Mataram sekitar 50 menit.
Perjalan yang harus ditempuh membuat rem dan gas lumayan mederit. Setelah melewati jalan raya lembar, medan yang harus dilalui memang agak berkelok-kelok. Ada turunan, juga tanjakan tajam yang meharuskan gas motor tetap poll. 

Bisa dibilang, Mareje ini desa di dataran tinggi. Karena jarak yang lumayan jauh dari Mataram membuat saya berfikir desa ini termasuk wilayah Sekotong, eh ternyata masih termasuk Kecamatan Lembar. Sebagian besar wilayah ini adalah area persawahan dan perkebunan. Kami menemukan rumah-rumah warga, namun jarak atar rumah cukup renggang. Ada juga sekolah dan rumah ibadah. Jangan berharap menemukan toko-toko besar ya. 

"Selamat datang di desa Mareje" tulisan yang membuat saya mulai sumringah. Sejak tadi nafas saya sudah terengah-engah. Agak tegang karena sebelumnya saya pernah punya pengalaman yang tidak mengenakkan.  Pernah suatu hari, kami melewati medan seperti ini dengan motor yang kami kendarai saat ini. Kondisi motor yg kurang fit saat itu membuat saya harus turun dan berjalan kaki setiap melewati tanjakan.

Memasuki kawasan desa Mareje, kami tidak langsung disuguhkan pemandangan yang membuat kami harus berdecak. Seperti alur cerita dalam karya fiksi, kami disuguhkan intro dulu, baru memasuki puncak.

Sampai di lokasi, pastinya kami bahagia sekali. Ini sih bukan lumayan kece lagi,
pemandanganya lebih cantik dari rengganis. Buat saya sinar mentarinya juga lebih manis dari manggis. Kalo perginya bareng pasangan, sunrise di sini terasa jauh lebih romantis.
Barisan sawahnya sangat hijau. Padi dan jagung saja bisa terlihat memukau.
Semuanya tersusun begitu rapi. Yang tak kalah penting, udara di Mareje ini segar sekali. Tapi ada satu hal yang kami lewati, momen munculnya mentari pagi tadi.

Tapi, tak masalah lah. Disuguhkan keindahan semacam ini saja sudah bikin enak suasana hati. Ketenangan ini jadi bekal untuk memulai hari. I feel so bless, that I can release this stress.

Perjalanan di pagi hari, terkadang menyuguhkan kisah yang asik untuk dibagi.
Anda bisa menikmati cerita ini dengan segelas kopi, boleh juga ditemani rokok dan sesobek roti.

Oia, ada hal menarik selain pemandangan alam dalam perjalan pagi ini. Yang tak luput dari pengamatan saya saat di perjalanan tadi adalah perjuangan ibu-ibu yang duduk di bak mobil sembari menahan kantuk.  Mobil pick up  yang mereka tumpangi berisi sayur-mayur itu terus melaju, dari kejauhan saya melihat mereka sesekali terangguk-angguk.

Ada juga bocah-bocah yang berjejer di pinggir jalan, dengan seragam lengkap anak  sekolahan. Mereka berjalan sebari bercengkrama dengan kawan. Sepertinya, jarak rumah dan sekolah yang lumayan renggang, tak membuat mereka patah arang.

Starter pack untuk hunting foto ke Mareje:
1. Outfit dengan warna cerah
2. Fotografer handal dan kamera yang memadai.
3. Daya dan kuota HP yang full, just in case kalau butuh google maps. #sinyal Telk*omsel lumayan kenceng dibandingkan provider lain.
4. Kendaran yang fit dan bensi yang full.
5. Tumbler berisi kopi atau air mineral.
6. Sarapan setelah menikmati sunrise.

Selasa, 10 Maret 2020

"Kapan Punya Anak?" Pertanyaan yang tak berkesudahan


Ada banyak hal yang saya refleksikan dari pertanyaan “kapan punya anak?”. Pertama, jika suatu hari saya punya anak, lalu anak saya bertanya “Apa alasan ibu memutuskan untuk melahirkan saya?”. Lantas kira-kira apa jawaban yang proper atas pertanyaan tersebut?. Bagi saya, semua hal yang saya lakukan harus memiliki alasan yang jelas. Setiap pilihan yang diambil harus melalui pertimbangan yang matang.

Dulu sekali, ketika saya naik ke kelas 2 MTS. Saya selalu bertanya “Siapa Saya?”. Saya sadar, saya bukan sekedar tangan yang bergerak, mata yang melihat, atau tubuh yang melenggok kesana kemari. Saya adalah saya, tapi siapa saya? Kenapa saya ada di sini?.

Ketika masuk MA/SMA, saya mencoba mengenali diri dengan menelusuri apa yang saya sukai. Mungkin saya dapat menjawab pertanyaan “siapa saya” dengan mengenali jati diri, keinginan, tujuan, dan hal yang berkaitan dengan keberadaan saya. Saya jautuh pada kesimpulan bahwa saya suka menulis, terutama menulis diary. Saya juga suka membaca novel. Temanya tentu tidak jauh dari keberADAan saya. Saat itu saya juga membaca buku psikologi, dan personality. Setelah menulusuri kesemuanya, saya belum juga puas.

Awal masuk kuliah, saya mulai membaca beberapa sumber bacaan terkait agama dan kepercayaan. Tak hanya tentang agama yang tertera di KTP saya, tapi juga selain itu. Saya membaca sedikit tentang Hindu, berdiskusi dengan teman Katolik, atau membaca artikel mereka yang mengaku diri ateis. Saya menemukan diri saya mempertanyakan kembali kepercayaan yang saya anut saat itu. “Kenapa saya tidak boleh menyembah tuhan ini dengan semua cara?” jika pencipta yang dimaksud semua agama itu adalah merujuk pada dzat yang sama. Pencipta itu diberi nama yang berbeda-beda oleh manusia, sehingga pada praktiknya, tata cara penyembahanpun berbeda-beda.

Kembali ke keyakinan saya, kami punya tata cara tersendiri untuk berdoa, ada hukum-hukum yang mengatur cara kami hidup, berprilaku, dan lain sebagainya. Cara berdoa inilah yang membedakan agama yang satu dan lainnya. Sehingga cara ibadah agama yang satu tidak dapat diterima oleh agama lainnya. 

Di tengah kebimbangan saya berfikir, "Life is the matter of choices. Once you decide to take it, you have to be responsible of the choice that you have chosen". Berarti, ketika saya memilih untuk beragama islam, saya harus melakukan setiap ajarannya dengan taat, apapun konsekuensinya.

Dalam sebuah sumber, orang yang mengaku atheis menganggap setiap agama memiliki kemungkinan yang sama untuk salah. Mungkin begitu. Karena kita belum mengetahui apa yang akan terjadi di alam berikutanya, setelah kehidupan dunia. Entah agama mana yang akan benar, itu tergantung apa yang kita yakini. Setiap agama memiliki klaim masing-masing perihal ini. Melalui kitab masing-masing, setiap agama punya cerita akan seperti apa kehidupan setelah kematian. Di sini, keimanan terhadap kitab suci itu dipertaruhkan. Lalu saya sampai pada kesimpulan "bagaimana mungkin saya yang kecil ini mampu memikirkan hal yang tak definisikan seperti itu? Apa logika saya mampu mejangkau Dia yang Maha itu?".

Dalam keputuasaan mencari jati diri yang kemudian merebet pada keyakinan itu, saya memutuskan untuk tetap memilih islam, mempelajarinya kembali. “I'll take all the risk of this choice” tekad saya. Bertanggungjawab atas pilihan adalah hal yang saya pelajari dari pengalaman hidup yang singkat ini.

Lalu apa kaitanya dengan memiliki anak?apakah alasan saya memiliki anak? Itu masih saya pertimbangkan. Saya harus selesai dengan pertanyaan ini dulu. Dalam pikiran saya, saya tidak ingin menjadi egois, memaksa anak untuk hidup di dunia yang bagi saya cukup "Cruel". Bergulat dengan kehidupan yang entah mereka akan sukuri atau tidak.  Meskipun saya menyadari, penciptaan manusia dalam agama saya tujuannya adalah untuk menyembah sang Pencipta, serta menjadi Khalifah di muka bumi. 

Bagi saya, alasan memiliki anak tidak sesimple “ agar ada yang merawat di masa tua, agar ada yang mengingat kita dalam doa ketika sudah tiada, agar kita merasa memiliki kebahagiaan yang lengkap, agar kita tidak dianggap mandul, agar kita diterima di kehidupan sosial”. Alasan-alasan ini saya fikir egois, karena masih berorientasi pada diri sendiri. Kata orang-orang cinta pada anak itu “uncoditional”, tanpa syarat. Lah, sebelum ada saja sudah banyak syarat begitu.

Belum lagi trend orangtua yang memaksa anak-anaknya untuk les dari umur 4 tahu, dari les baca, tulis, hitung, nari, musik, dengan harapan mereka akan menjadi anak yang cerdas tanpa pernah bertanya keinginan si Anak. Sejak kecil anak-anak dipaksanakn untuk begini dan begitu, tanpa diberi kebebasan untuk memilih. Sudah dilahirkan atas ego orang tua, setelah lahir malah dipaksakan untuk memilih jalan yang sudah ditetapkan oleh orang tua. Duhh!! well ya, memang ini diharapkan untuk kebaikan mereka, tapi apa harus seperti itu?

Ditambah dengan kecemasan, jika saya melahirkan anak di tahun-tahun ini, itu berarti saya melepaskan si anak untuk bertarung di dalam ring, yang memaksa manusia tidak hanya bertarung sesama manusia, tapi kecerdasan buatan yang kecerdasannya berkali-kali lipat dari manusia. So scary!!!!

Lagi pula, bukankah prestasi hari ini diukur dengan cara yg beda?. Mungkin zaman dahulu, melahirkan anak banyak dan selamat sampai dewasa merupakan sebuah prestasi. Mengingat kehidupan kala itu masih terbilang sulit, dunia medis dan teknologi tak semaju hari ini. Mungkin angka kematian bayi saat itu cukup tinggi juga. Jadi pertanyaan warisan "kapan punya anak?" Bisa saja tak lagi relevan. Karena hal itu bukan lagi dipandang sebagai prestasi (bagi sebagian orang).

Hari ini, prestasi bisa saja didefinisikan sebagai karir yang mapan, kepemilikan atas properti, lahan luas, rumah mentereng, dan hal-hal lainnya. Atau prestasi dalam benak saya yang berarti bermanfaat bagi orang lain. So, bisakah kita berhenti mengurusi kehidupan orang lain dengan bertanya "kapan punya anak?".


 

min verden Template by Ipietoon Cute Blog Design